CARL HOVLAND
RIWAYAT HIDUP
Hovland lahir di Chicago,12 Juni 1912.Memasuki universitas Northwestern sampai tingkat master.Ia melanjutkan progam doktor pada Progam Psikologi di Universitas Yale karena tertarik pada Clark Hull,seorang akademisi yang dikenal beraliran behaviorisme yang mengkaji proses pembelajaran manusia.Hovaland beruntung masuk keprogam ini karena progamPsikologi di Yale memiliki lembaga institute of Human Relation yang merupakan sebuah lembaga yang mampu mengangkat keberadaan fakultas psikologi di Yale menjadi penting dan terkenal.
Kepribadian Hovland sangat menarik.Dia seorang pendengar yang baik,pendiam,dan sedikit berbicara,tetapi dengan kemampuan yang luar biasa.Hovland diakui sangat jenius dan produktif.Dia dapat melakukan kegiatan yang kompleks sekaligus,seperti mengedit naskah,berbicara melalui telepon,dan memasang slide.Pendekatan Hovland cenderung eleklik,yakni memakai banyak pendekatan daripada hanya satu perspektif.Ujung karier hovland adalah ketika diketahui dia menderita kanker dan kemudian meninggal.
Carl Hovland sebagaimana Lasswell,merupakan staf pengajar di Yale University yang tergolong universitas elit di Amerika.Hovland cenderung ditempatakan sebagai forerunners bagi kemunculan ilmu komunikasi bersama sama dengan Paul F.Lazarzfeld,Kurt lewin,Norbert Wiener,dan Claude Shannon.Wlaupun terjadi banyak perdebatan mengenai hal ini,tetapi yang penting keempat tokoh ini dianggap berjasa lebih berkaitan dengan yang mereka kembangkan dalam kajian komunikasi yang bercorak individu,paradigma efek jangka panjang,kuantitatif,banyak membiayai penelitian dan metodik.
PENELITIAN
1 faktor-faktor apa yang menyebabkan sebuah pesan punya dimensi persuasi yang tinggi.
.Menurut Hovland, perubahan sikap haruslah dipahami sebagai sebuah respons terhadap aksi komunikasi persuasif. Karena itu, Hovland dan para koleganya mengembangkan sejumlah riset eksperimen untuk menyelidiki faktor-faktor tersebut.Mengingat keterbatasan ruang, tidak semua aspek teori itu digunakan untuk menganalisa lawatan Megawati itu. Dari 5 karakteristik persuasi yang dikemukakan Hovland, hanya soal Acceptance (penerimaan) saja yang coba dibahas di sini. Analisa tentang itupun terbatas pada faktor Source (sumber pesan), Message (pesan) dan Receiver (penerima/audiens) saja.
Acceptance
ACT, menurut Larson, mengusulkan sebagai fakta bahwa tindakan manusia memiliki sejumlah batasan dan kendali. Salah satu batasan dan kendali utama dari aksi manusia adalah sikap (attitude). Menurut Hovland, sepanjang waktu, manusia bertindak selalu seturut dan sejalan dengan sikapnya. Dengan kata lain, sikap itu mengontrol perilaku (behavior) kita. Apabila kita memiliki sikap negatif terhadap sesuatu atau individu, maka perilaku kita terhadap sesuatu atau individu akan dipandu oleh sikap negatif kita itu. Sebaliknya, jika seorang persuader ingin mengubah perilaku target audiens mereka terhadap dirnya, maka si persuader terleih dahulu mengubah attitude dari audiens tersebut.
Studi oleh kelompok Yale ini juga mengasumsikan bahwa orang akan mengubah sikapya jika mereka disediakan sejumlah alasan penguat bagi perubahan sikap itu. Dengan kata lain, kata Larson, untuk bisa mengubah perilaku (termasuk perilaku pemilih), persuader harus mampu memotivasi orang untuk memproses sejumlah informasi yang akan mengubah sikap yang telah ada di orang tersebut. Para periset Yale juga menyebutkan bahwa keberhasilan persuader untuk mengubah perilaku orang sangat tergantung pada
1. Attention (perhatian); jika orang yang dibujuk tidak mengindahkan pesan yang disampaikan kepadanya, maka mereka tidak bisa dipersuasi oleh pesan itu. Dalam kasus Megawati, orang-orang ternyata menyambut dengan baik dan punya atensi dengan pesan-pesan yang disampaikan Megawati sehingga ada kemungkinan yang besar mereka bisa dipersuasi dengan pesan-pesan itu.
2. Comprehension (pemahaman); jika orang yang dipersuasi tidak memahami pesan, maka mereka tidak bisa dipersuasi oleh pesan itu. Untuk soal ini, akan dibahas kemudian. Pertanyaannya adalah, apakah pesan-pesan Megawati bisa dipahami rakyat yang dikunjungi?
3. Acceptance (penerimaan); apabila orang yang dipersuasi menolak pesan yang disampaikan meski mereka memperhatikan dan memahami pesan yang disampaikan, mereka tidak mungkin bisa dipersuasi oleh pesan tersebut. Hal inilah yang akan dilihat secara lebih detail dalam tulisan ini. Apakah orang bisa menerima pesan-pesan yang disampaikan Megawati?
4. Retention (penyimpanan); dalam banyak kasus, manusia kadang menunda perubahan sikapnya setelah mendapat dan memahami sebuah pesan. Karena itu, mereka harus mampu mengingat pesan-pesan itu dan mau menyimpannya di memori mereka sampai mereka rasa itulah saatnya melakukan tindakan. Untuk kasus Megawati, Megawati harus membuat pesannya disimpan dalam memori kolektif mengingat waktu pemilu masih panjang.
5. Action (tindakan); periset Yale mengasumsikan bahwa orang bertindak dalam sebuah cara logis yang konsisten dengan argumen persuader.
Larson menambahkan, meski elemen-elemen di atas dianggap sama penting untuk menentukan sukses tidaknya sebuah persuasi dan penyampaian pesan, namun kebanyakan studi yang dilakukan dalam tradisi Yale ini lebih fokus pada alemen ketiga yaitu Acceptance. Studi-studi ini mencoba menjawab pertanyaan, faktor-faktor apa saja yang secara kuat bisa menyebabkan penerimaan sebuah pesan atau penolakan terhadapnya. Larson sendiri kemudian memakai model SMCR (Source, Message, Channel, Receiver) sebagai kerangka untuk menganalisa sebab-sebab penerimaan dan penolakan sebuah pesan persuasif.Dalam konteks tulisan ini, apa yang menyebabkan rakyat menerima persuasi yang dilakukan Megawati dari sisi sosok Megawati sendiri sebagai source, dari sisi message yang disampaikan dan dari ssi receiver.
2.Efek film terhadap tentara.
Hovland dan beberapa temannya melakukan eksperimen untuk menguji efek film terhadap tentara.ia dan kawan kawanya menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi,tetapi tidak dalam mengubah sikap.
3. kredibilitas sumber (komunikator) hubungannya dengan efek persuasi (perubahan sikap). Hovland adalah peneliti yang memperkenalkan penelitian-peneltian eksperimental dalam komunikasi
TEORI
1. TEORI DESEPSI
Dalam kehidupan panggung politik, seorang aktor politik tak bisa melepaskan diri untuk tak memberikan pernyataan terhadap suatu masalah yang sementara dibahas dalam wacana publik. Timbul pertanyaan, mengapa aktor politik selalu menjadi sumber berita? Jawabnya adalah aktor politik selalu menjadi news maker akibat konsekuensi status dan jabatan yang dipegangnya. Maka dari itu, sebagai aktor politik perlu mengetahui eksistensi dan perannya sebagai tokoh atau pemimpin, dan automatically perlu mempersiapkan suatu argumentasi dan penjelasan jika pekerja media melakukan wawancara terhadap suatu masalah yang sementara menjadi berita gurih dan nikmat yang dibicarakan di publik.
Jika salah memberikan argumentasi dan keterangan terhadap suatu masalah, tentu masyarakat akan memberikan penilaian sosial tersendiri terhadap pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh seorang aktor politik.
Argumentasi ini membenarkan social judgment theory dikemukakan oleh Muzafer Sherif dan Carl Hovland (1961). Asumsi teori ini adalah bahwa orang membuat penilaian berdasarkan pada acuan dan titik referensi. Lebih lanjut Sherif berpendapat, proses penilaian itu muncul dan bekerja dalam ranah sosial sehingga pesan-pesan komunikasi dalam bentuk persepsi sosial mengacu kepada peristiwa dan pengalaman masa lalu.
0 Komentar