MAKALAH TEORI KOMUNIKASI

“TEORI GROUPTHINK”




NAMA KELOMPOK :

1. Dwi Putri Astuti 44209110056

2. Eva Silvani 44209110044

3. Edith Silyani 44209110068

4. Yuliana Andriani 44209110032

5. Yani Mulyani 44209110023

UNIVERSITAS MERCUBUANA

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

JURUSAN PUBLIC RELATIONS

KELAS KARYAWAN

ANGKATAN XV

PENDAHULUAN

PEMAHAMAN PERILAKU KELOMPOK

A. Pengertian Kelompok

Kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan dibentuk bersama berdasarkan pada interest atau tujuan yang sama.
Perilaku kelompok merupakan respon-respon anggota kelompok terhadap struktur sosial kelompok dan norma yang diadopsinya.
Perilaku kolektif merupakan tindakan seseorang oleh karena pada saat yang sama berada pada tempat dan berperilaku yang sama pula.

B. Pengaruh Orang Lain pada Performance (Perilaku Individu)

  1. Kehadiran orang lain bisa mempengaruhi usaha (effort) seseorang. Bentuk dari efek ini antara lain: persaingan (rivalry), fasilitasi sosial, dan social loafing. Rivalry merupakan peningkatan motivasi dan usaha seseorang pada suatu kompetisi. Fasilitasi sosial merupakan peningkatan usaha seseorang karena mengetahui orang lain yang juga melakukan hal yang sama. Sedangkan social loafing merupakan menurunnya kinerja seseorang dalam kelompok bila dibandingkan dengan kerja individual.

  1. Kehadiran orang lain menyebabkan meningkatnya Arousal, Robert Zajonc menyatakan bahwa kehadiran orang lain dapat meningkatkan drive atau tingkat arousal. Performance akan meningkat bila bentuk perilakunya itu sederhana, dikuasai, dan responnya sesuai dengan situasi yang berlangsung. Sebaliknya, performance akan menurun, bila responnya kompleks, dan tidak dikuasai.

  1. Kehadiran orang lain dapat menyebabkan distraksi (konflik performance) dan evaluasi. Bila seseorang itu sadar bahwa ia memiliki audience, ia mungkin cenderung mengalami dua konflik yaitu: memperhatikan pada tugas (pool position) atau memperhatikan audiensnya. Konflik ini menyebabkan meningkatnya arousal dan pada akhirnya dapat meningkatkan kecenderungan untuk memberikan respon secara dominan. Bila audiens dirasakan mengevaluasi performance seseorang maka performance seseorang akan terpengaruh kadang meningkat dan kadang menurun.

LATAR BELAKANG TEORI GROUPTHINK

Teori Pemikiran Kelompok (Groupthink) lahir dari penelitian panjang Irvin L Janis. Melalui karya ’Victims of Groupthink : A Psychological Study of Foreign Decisions and Fiascoes (1972)’, Janis menggunakan istilah groupthink untuk menunjukkan suatu mode berpikir sekelompok orang yang sifatnya kohesif (terpadu), ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat (kebulatan suara) telah mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif tindakan secara realistis. Dari sinilah groupthink dapat didefinisikan sebagai satu situasi dalam proses pengambilan keputusan yang menunjukkan tumbuhnya kemerosotan efisiensi mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan kelompok (Mulyana, 1999: ).

Sementara groupthink menurut Rakhmat (2005) adalah proses pengambilan keputusan yang terjadi pada kelompok yang sangat kohesif, di mana anggota-anggota berusaha mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya menjadi tidak efektif lagi.

Dalam definisi tersebut, groupthink meninggalkan cara berpikir individual dan menekankan pada proses kelompok. Sehingga pengkajian atas fenomena kelompok lebih spesifik terletak pada proses pembuatan keputusan yang kurang baik, serta besar kemungkinannya akan menghasilkan keputusan yang buruk dengan akibat yang sangat merugikan kelompok (Sarwono, 1999). Selanjutnya diperjelas oleh Janis, bahwa kelompok yang sangat kompak (cohesiveness) dimungkinkan terlalu banyak menyimpan atau menginvestasikan energi untuk memelihara niat baik dalam kelompk ini, sehingga mengorbankan proses keputusan yang baik dari proses tersebut.

Esensi Teori

Lahirnya konsep groupthink didorong oleh kajian secara mendalam mengenai komunikasi kelompok yang telah dikembangkan oleh Raimond Cattel, yaitu melalui penelitian yang difokuskan pada kepribadian kelompok sebagai tahap awal. Teori yang dibangun menunjukkan bahwa terdapat pola-pola tetap dari perilaku kelompok yang dapat diprediksi, yaitu :

1. Sifat-sifat dari kepribadian kelompok

2. Struktur internal hubungan antar anggota

3. Sifat keanggotaan kelompok

Temuan teoritis tersebut masih belum mampu memberikan jawaban atas suatu pertanyaan yang berkaitan dengan pengaruh hubungan antar pribadi dalam kelompok. Hal inilah yang memunculkan satu hipotesis dari Janis untuk menguji beberapa kasus terperinci yang ikut memfasilitasi keputusan-keputusan yang dibuat kelompok.

Hasil pengujian ilmiah yang dilakukan Janis, menunjukkan bahwa terdapat satu kondisi yang mengarah pada munculnya kepuasan kelompok yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan hasil keputusan kelompok yang baik (ineffective output). Asumsi penting dari groupthink, sebagaimana dikemukakan West dan Turner (2007) adalah:

1. Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi.

2. Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu.

3. Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks.

Hasil akhir analisis Janis,menunjukkan beberapa dampak negatif dari pikiran kelompok dalam membuat keputusan, yaitu :

1. Diskusi amat terbatas pada beberapa alternatif keputusan saja.

2. Pemecahan masalah yang sejak semula sudah cenderung dipilih, tidak lagi dievaluasi atau dikaji ulang.

3. Alternatif pemecahan masalah yang sejak semula ditolak, tidak pernah dipertimbangkan kembali.

4. Tidak pernah mencari atau meminta pendapat para ahli dalam bidangnya.

5. Kalau ada nasehat atau pertimbangan lain, penerimaannya diseleksi karena ada bias pada pihak anggota.

6. Cenderung tidak melihat adanya kemungkinan-kemungkinan dari kelompok lain akan melakukan aksi penentangan, sehingga tidak siap melakukan antisipasinya.

7. Sasaran kebijakan tidak disurvei dengan lengkap dan sempurna.

Ilustrasi analisis Janis selanjutnya mengungkapkan kondisi nyata suatu kelompok yang dihinggapi oleh pikiran kelompok, yaitu dengan menunjukkan delapan gejala perilaku kelompok sebagai berikut.

1. Persepsi yang keliru (illusions), bahwa ada keyakinan kalau kelompok tidak akan terkalahkan.

2. Rasionalitas kolektif, dengan cara membenarkan hal-hal yang salah sebagai seakan-akan masuk akal.

3. Percaya pada moralitas terpendam yang ada dalam diri kelompok.

4. Stereotip terhadap kelompok lain (menganggap buruk kelompok lain).

5. Tekanan langsung pada anggota yang pendapatnya berbeda dari pendapat kelompok.

6. Sensor diri sendiri terhadap penyimpangan dari konsensus kelompok.

7. Ilusi bahwa semua anggota kelompok sepakat dan bersuara bulat.

8. Otomatis menjaga mental untuk mencegah atau menyaring informasi-informasi yang tidak mendukung, hal ini dilakukan oleh para penjaga pikiran kelompok (mindguards).

Sejalan dengan itu, teori mengenai keputusan kelompok yang dikembangkan oleh Hirokawa, memberikan beberapa kontribusi pemikiran mengenai kesalahan keputusan yang menganggap sepele penyimpulan dari suatu proses pengambilan keputusan, yaitu:

1. Penafsiran yang tidak akurat terhadap suatu permasalahan yang dihadapi oleh kelompok.

2. Sumber gangguan dalam proses pengambilan keputusan, terletak pada ketidaktepatan menentukan sasaran dan objek yang dikaji.

3. Ketidaktepatan menentukan taraf kualitas penafsiran mengenai baik-buruk dan benar-salah.

4. Kelompok sengaja dibiarkan membangun ketidakakurasian dalam mengambil informasi dan sumbernya, kadangkala terjadi penampilan terhadap informasi yang bernilai valid dan sebaliknya. Sedangkan banyak informasi bahkan tidak tertata atau terseleksi dengan baik dan semakin membingungkan, namun informasi yang kurang berarti justru dengan mudah terungkapkan.

5. Kelompok boleh jadi melakukan kesalahan dengan alasan keliru dalam menyerap informasi dari sumbernya, namun hal ini dapat teratasi dengan pendekatan komunikatif dari para anggotanya.

Berdasarkan penelitian yang berkembang pada periode selanjutnya, diperoleh hipotesisi mengenai faktor-faktor determinan yang terdapat pada pikiran kelompok, yaitu (Sarwono, 1999) :

1. Faktor Anteseden

Kalau hal-hal yang mendahului ditujukan untuk meningkatkan pikiran kelompok, maka keputusan yang dibuat oleh kelompok akan bernilai buruk. Akan tetapi, kalau hal-hal yang mendahului ditujukan untuk mencegah pikiran kelompok, maka keputusan yang akan dibuat oleh kelompok akan bernilai baik.

2. Faktor Kebulatan Suara

Kelompok yang mengharuskan suara bulat justru lebih sering terjebak dalam pikiran kelompok, dari pada yang menggunakan sistem suara terbanyak .

3. Faktor Ikatan Sosial-Emosional

Kelompok yang ikatan sosial-emosionalnya tinggi cenderung mengembangkan pikiran kelompok, sedangkan kelompok yang ikatannya lugas dan berdasarkan tugas belaka cenderung lebih rendah pikiran kelompoknya.

4. Toleransi terhadap Kesalahan

Pikiran kelompok lebih besar kalau kesalahan-kesalahan dibiarkan dari pada tidak ada toleransi atas kesalahan-kesalahan yang ada .

Setelah dilakukan pengujian atas berbagai hipotesis tersebut, serta didukung oleh data-data historis dari peristiwa sukses di Amerika khususnya disebabkan oleh proses yang baik dalam pembuatan keputusan kelompok, maka ada beberapa saran untuk pemimpin kelompok, sebagai upaya mencari jalan keluar dari belenggu pikiran kelompok. Untuk itu pemimpin kelompok perlu melaksanakan aktifitas dengan mengkondisikan kelompok seperti berikut ini.

1. Menyampaikan secara terbuka mengenai kemungkinan tumbuhnya pikiran kelompok dengan sengaja konsekuensinya.

2. Ditekankan perlu adanya keberpihakan atas posisi yang lain.

3. Meminta evaluasi secara kritis dari setiap anggota, dengan memberikan dorongan dan menguraikan keraguan.

4. Tunjuk satu atau dua orang untuk menjadi kritikus kelompok.

5. Saat tertentu kelompok perlu dipecah menjadi lebih kecil dan efektif, dan saat kemudian dikembalikan seperti semula untuk memperoleh peran yang maksimal dari setiap anggota.

6. Menyediakan cukup waktu untuk mempelajari keberadaan kelompok lain (saingan), dengan mengidentifikasi tanda-tanda atau pernyataan-pernyataan ataupun kemungkinan lainnya yang dinilai membahayakan.

7. Setelah keputusan sementara dicapai, dimintakan kepada anggota untuk mengevaluasi kembali dalam kesempatan yang berbeda.

8. Menyediakan waktu untuk mengundang pakar-pakar dalam menghadiri pertemuan kelompok, guna mengkritisi atau menolak pandangan kelompok.

9. Membuka kemungkinan adanya anggota kelompok untuk selalu mendiskusikan secara terbuka di forum lain, dengan catatan hasilnya semata-mata untuk kelompok.

10. Membuat beberapa kelompok yang bebas tidak saling bergantung (independent), untuk bekerja secara bersama dalam memecahkan suatu persoalan.

Proses pembuatan keputusan yang menggunakan kiat-kiat tersebut, dapat memakan waktu yang panjang. Namun manfaat yang dapat diperoleh sangat luar biasa, yaitu kepastian mengurangi kesalahan sampai tingkat terendah dari proses pengambilan keputusan. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran lebih nyata, bahwa untuk mencapai keputusan kelompok yang baik, maka pikiran kelompok harus diubah menjadi pikiran tim. Sedangkan untuk memperoleh pelaksanaan prosedur yang baik dan akurat, sedapat mungkin dikurangi desakan yang didasarkan pada alasan keterbatasan waktu (Sarwono, 1999).

Sebagaimana teori-teori lainnya, teori groupthink juga tak lepas dari kritik. Mereka yang mengkritik teori ini, antara lain adalah:

1. Aldag dan Fuller (1993)

Menurut Aldag dan Fuller, analisis groupthink bersifat retrospektif (berlaku surut), sehingga Janis dapat mengambil bukti-bukti yang mendukung teorinya saja. Keterpaduan kelompok itu sendiri belum tentu menimbulkan pikiran kelompok. Misalnya perkawinan dan keluarga, dapat tetap terpadu atau kohesif tanpa menimbulkan pikiran kelompok, dengan tetap membiarkan perbedaan pendapat tanpa mengurangi keterpaduan itu sendiri.

2. Tetlock, dkk (1992)

Tetlock, et.al menilai, fakta sejarah membuktikan bahwa ada juga kelompok-kelompok yang sudah mengikuti prosedur yang baik, namun tetap melakukan kesalahan, misalnya ketika Presiden Carter dan penasehat-penasehatnya merencanakan pembebasan sandera di Iran pada tahun 1980. Operasi itu gagal total dan Amerika Serikat dipermalukan, walaupun kelompok itu sudah mengundang berbagai pendapat dari luar dan memperhitungkan segala kemungkinan secara realistik.

B. ASUMSI GROUPTHINK

Dalam hal ini Irving Janis memfokuskan penelitiannya pada Problem-Solving Group dan task-oriented group, yang mempunyai tujuan utamanya yaitu untuk mengambil keputusan dan memberikan rekomendasi kebijakan akan solusi-solusi yang ada.

Berikut merupakan 3 asumsi penting dalam Groupthink Theory :

  1. Kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas yang tinggi.

Ernest Bormann mengamati bahwa anggota kelompok sering kali memiliki perasaan yang sama atau investasi emosional, maka mereka cenderung untuk mempertahankan identitas kelompok. Pemikirian kolektif ini biasanya menyebabkan sebuah kelompok memiliki hubungan yang baik, tetap bersatu, memiliki semangat kebersamaan dan memiliki kohesivitas tinggi.

Kohesivitas : batasan dimana anggota-anggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja sama. Atau bisa dibilang, rasa kebersamaan dari kelompok tersebut. Kelompok dimana anggotanya saling tertarik dengan sikap, nilai dan perilaku anggota lainnya cenderung dapat dikatakan kohesif.

  1. Pemecahan masalah di dalam kelompok pada dasarnya merupakan proses yang terpadu.

Para anggota biasanya berusaha untuk dapat bergaul dengan baik. Dennis Gouran mengamati bahwa kelompok-kelompok rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints), yang berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menyimpan masukan atau pendapat mereka daripada mengambil risiko pendapat mereka ditolak. Menurut Gouran, mereka akan cenderung untuk “memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan kelompok daripada isu-isu yang sedang dipertimbangkan”. Oleh karena itu, anggota kelompok lebih tertarik mengikuti pemimpin saat pengambilan keputusan tiba.

  1. Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali

bersifat kompleks.

Usia, sifat kompetitif, ukuran, kecerdasan, komposisi gender gaya kepemimpinan dan latar belakang budaya dari para anggota kelompok dapat mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam kelompok. Seperti misalnya karna banyak budaya yang tidak menghargai komunikasi yang terbuka dan ekspresif, beberapa anggota kelompok akan menarik diri dari perdebatan atau dialog, dan hal ini mungkin dapat membuat anggota kelompok yang lain heran, serta bisa mempengaruhi persepsi dari para anggota kelompok, baik yang partisipatif ataupun yang nonpartisipatif. Oleh karena itu, kelompok dan keputusan kelompok dapat menjadi lebih sulit, tetapi biasanya melalui kerja kelompok, orang dapat mencapai tujuan mereka lebih baik dan efisien.

C.FAKTOR TERBENTUKNYA GROUPTHINK

Kohesivitas Kelompok

Kohesivitas kelompok mendukung terjadinya groupthink.

Di dalam kelompok yang memiliki kohesivitas yang tinggi akan lebih antusias mengenai tugas-tugas mereka, dan anggotanya merasa dimampukan untuk melaksanakan tugas-tugas tambahan, karena kelompok mereka sangat kompak atau kohesif. Walaupun terdapat keuntungannya, tetapi kelompok yang sangat kohesif juga bisa memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk memenuhi standard kelompok. Dan biasanya anggota kelompok tidak bersedia untuk mengemukakan keberatan mereka mengenai solusi yang diambil. Maka Irving Janis berpendapat bahwa kohesivitas menuntun kepada groupthink.

Faktor Struktural

Karakteristik struktural yang spesifik, atau kesalahan, mendorong terjadinya groupthink. Faktor-faktor ini juga termasuk isolasi kelompok, kurangnya kepemimpinan imparsial, kurangnya prosedur yang jelas dalam mengambil keputusan, dan homogenitas latar belakang anggota kelompok.

Isolasi kelompok (group insulation)

Merujuk pada keinginan kelompok untuk tidak terpengaruh oleh pihak di luar kelompok. Padahal ada kemungkinan bahwa pihak di luar kelompok dapat membantu dalam pengambilan keputusan.

Kurangnya kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership)

Anggota kelompok dipimpin oleh orang yang memiliki minat pribadi terhadap hasil akhir. Pemimpin berpendapat bahwa opini lain akan merugikan rencananya, dan kepemimpinan alternatif ditekan.

Kurangnya prosedur pengambilan keputusan (lack of decision making procedures)

Beberapa kelompok memiliki prosedur untuk mengambil keputusan; kegagalan untuk memiliki norma yang telah disepakati untuk mengevaluasi suatu masalah dapat menimbulkan groupthink. Jika ada masalah di suatu kelompok, mereka masih harus mencari penyebabnya dan sejauh apa masalah teresebut.

Homogenitas latar belakang (Homogenity of members’ backgrounds)

Tanpa keragaman latar belakang sosial, pengalaman dan ideology akan mempersulit sebuah kelompok untuk mendebat masalah yang penting.

Tekanan Kelompok (Group Stress)

Tekanan internal dan eksternal (internal and external stress) yang dialami kelompok dapat menuntun kepada groupthink. Jika suatu kelompok dalam membuat keputusan sedang mengalami tekanan yang berat – baik disebabkan oleh dorongan-dorongan dari luar maupun dari dalam kelompok – mereka cenderung tidak dapat menguasai emosi, sehingga dapat mencari segala cara agar masalah dapat cepat diselesaikan tanpa memikirkan akal sehat, maka kelompok tersebut sedang menuju groupthink.

D.GEJALA-GEJALA GROUPTHINK

  1. Penilaian Berlebihan terhadap Kelompok / Overestimation of the Group (keyakinan yang keliru, suatu kelompok lebih dari dirinya yang sebenarnya)

Ilusi Akan Ketidakrentanan (illusion of invulnerability)

Kelompok ini memiliki keyakinan bahwa mereka cukup istimewa atau hebat untuk mengatasi rintangan-rintangan. Kelompok ini percaya bahwa mereka tidak terkalahkan.

Keyakinan akan Moralitas yang Tertanam di dalam Kelompok

Kelompok ini memiliki keyakinan bahwa anggota-anggota kelompoknya bijaksana dan memiliki moral yang baik, sehingga keputusan yang mereka buat juga akan baik pula. Anggota kelompok ini membersihkan diri dari rasa malu atau bersalah, walaupun mereka tidak mengindahkan moral dari keputusan mereka.

  1. Ketertutupan Pikiran / Closed-Mindedness (tidak mengindahkan pengaruh-pengaruh dari luar terhadap kelompok)

Stereotip Kelompok Luar (out group stereotypes)

Kelompok memiliki persepsi stereotip terhadap kelompok lawannya (musuhnya), yaitu menekankan bahwa kelompok lawan terlalu lemah atau terlalu bodoh untuk membalas taktik mereka yang ofensif.

Rasionalisasi Kolektif (collective rationalization)

Situasi dimana kelompok tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang dapat mendorong mereka untuk mempertimbangkan kembali pemikiran mereka sebelum mereka mencapai keputusan akhir.

  1. Tekanan untuk Mencapai Keseragaman / Pressures Toward Uniformity (terjadi ketika para anggota kelompok berusaha untuk menjaga hubungan baik antar anggota)

Sensor Diri (self-censorship)

Kecenderungan para anggota kelompok untuk meminimalkan keraguan mereka dan argumen-argumen yang menentang terhadap pemikiran mereka. Membungkam pemikiran-pemikiran pribadi yang menentang pemikiran kelompok dan menggunakan retorika kelompok dapat memperkuat keputusan-keputusan kelompok.

Ilusi akan Adanya Kebulatan Suara (illusion of unanimity)

Menganggap kalu diam itu artinya setuju. Karna biasanya dalam groupthink anggota mengikuti pemimpin, sehingga keputusan pemimpin adalah keputusan kelompok, sehingga jika ada anggota yang mempunyai pemikiran yang berbeda dengan pemimpin, anggota lebih memilih diam, maka disinilah dianggap bahwa tidak ada keberatan, dan dianggap bahwa ada kebulatan suara kelompok.

Self-Appointed Mindguards

Anggota-anggota kelompok melindungi kelompok dari informasi yang tidak mendukung kelompoknya. Para anggota tersebut melakukan mindguard, yaitu seperti menyaring aliran informasi yang bertolak belakang terhadap kelompoknya. Para mindguards yakin bahwa mereka bertindak demi kepentingan kelompok mereka.

Tekanan Terhadap Para Penentang (pressures on dissenters)

Tekanan atau pengaruh langsung terhadap anggota-anggota kelompok yang menyumbangkan opini, pendapat, pandangan, atau komitmen yang berlawanan terhadap opini mayoritas kelompoknya.

D.Dampak Negative Groupthink

1. Diskusi amat terbatas pada beberapa alternatif keputusan saja.

2. Pemecahan masalah yang sejak semula sudah cenderung dipilih, tidak lagi dievaluasi atau dikaji ulang.

3. Alternatif pemecahan masalah yang sejak semula ditolak, tidak pernah dipertimbangkan kembali.

4. Tidak pernah mencari atau meminta pendapat para ahli dalam bidangnya.

5. Kalau ada nasehat atau pertimbangan lain, penerimaannya diseleksi karena ada bias pada pihak anggota.

6. Cenderung tidak melihat adanya kemungkinan-kemungkinan dari kelompok lain akan melakukan aksi penentangan, sehingga tidak siap melakukan antisipasinya.

7. Sasaran kebijakan tidak disurvei dengan lengkap dan sempurna.

E.Mencegah Terjadinya Groupthink

Dibutuhkan adanya supervisi dan kontrol (membentuk komite parlementer)

· Mengembangkan sumber daya untuk memonitor proses pembuatan kebijakan.

· Memberi dukungan akan adanya intervensi.

· Mengaitkan kepentingan nasib dengan nasib anggota lain.

Mendukung adanya pelaporan kecurangan (suarakan keraguan)

· Hindari menekan kekhawatiran akan keputusan kelompok

· Terus tidak sepakat dan mendebat ketika tidak ada jawaban yang memuaskan

· Pertanyakan asumsi

Mengizinkan adanya keberatan (lindungi conscientious objectors)

· Berikan jalan keluar bagi para anggota kelompok

· Jangan menganggap remeh implikasi moral dari sebuah tindakan

· Dengarkan kekhawatiran pribadi anggota akan isu-isu etis di kelompok

Menyeimbangkan consensus dan suara terbanyak (mengubah pilihan pengaturan peraturan)

· Kurangi tekanan kepada anggota kelompok yang berada pada posisi minoritas

· Mencegah terjadinya subkelompok (peer group)

· Memperkenalkan pendekatan yang mendukung banyak pendapat dalam pengambilan keputusan

F. Contoh Peristiwa Groupthink

Kajian groupthink menemukan fakta menarik bahwa banyak peristiwa penting yang berdampak luas disebabkan oleh keputusan sekelompok kecil orang, yang mengabaikan informasi dari luar mereka.

1. Misalnya dalam peristiwa Pearl Harbour (1941), keputusan fatal diambil karena mengabaikan informasi penting intelejen sebelumnya.Minggu-minggu menjelang penyerangan Pearl Harbour di bulan Desember 1941 yang menyebabkan Amerika Serikat terlibat Perang Dunia II, komandan-komandan militer di Hawaii sebetulnya telah menerima laporan intelejen tentang persiapan Jepang untuk menyerang Amerika Serikat di suatu tempat di Pasifik. Akan tetapi para komandan memutuskan untuk mengabaikan informasi itu. Akibatnya, Pearl Harbour sama sekali tidak siap untuk diserang. Tanda bahaya tidak dibunyikan sebelum bom-bom mulai meledak. Walhasil, perang mengakibatkan 18 kapal tenggelam, 170 pesawat udara hancur dan 3700 orang meninggal.

2. Transisi Kepemimpinan PDIP oleh Gun Gun Heryanto

PDIP sangat identik dengan Megawati yang mewarisi kekuatan referen (referent power) dari Soekarno. Hingga kini, arus utama politik PDIP masih dalam pengendalian Mega yang diposisikan tak hanya sekedar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga representasi basis ideologis. Faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini maupun ke depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini.

Ada tiga kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala groupthink di PDIP. Pertama, faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat menjadi perekat agar kelompok tetap utuh. Namun kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).

Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh Megawati di PDIP sangat dominan dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh itu. Kita melihat misalnya, dalam beberapakali konggres Megawati tampil menjadi Ketua Umum nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan Mega maka secara umum kader menganggapnya sebagai penyimpang, sehingga menjadi salah satu potensi konflik.

Kedua, faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership) dan kurangnya prosedur pengambilan keputusan (lack of decision making procedures). Dalam tradisi politik di PDIP, ketaatan kader terhadap Mega, tak cukup memberi ruang bagi munculnya pemimpinan alternatif. Nyaris tidak ada figur di luar Mega yang mampu memerankan diri sebagai pengontrol dan dapat mengembangkan dialektika serta kritisisme. Situasi ini dengan sendirinya memandatkan banyak prosedur pengambilan keputusan pada Mega atau orang terdekat Mega, sehingga PDIP tumbuh bergantung pada sosok Mega dan cukup kerepotan menemukan formula alih generasi.

Ketiga, tekanan terhadap kelompok baik dari internal maupun eksternal. PDIP dalam sejarahnya memang rentan terhadap konflik. Faktor Mega hingga kini masih dianggap formula ampuh dalam mengatasi berbagai konflik internal sekaligus figur yang dapat menjadi katalisator kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness) di PDIP. Faktor ini dengan sendirinya telah memapankan rasionalisasi kolektif yang ditandai dengan minimnya partisipasi rasional kader dalam keputusan akhir partai, terutama menyangkut jabatan ketua umum mereka.

Dampak lain dari gejala groupthink selain rasionalisasi kolektif biasanya adalah ilusi mengenai ketidakrentanan partai terhadap permasalahan yang berkembang, menguatnya ilusi kebulatan suara, tekanan untuk mencapai keseragaman dan tekanan terhadap para penyimpang. Hal yang harus diwaspadai dari gejala groupthink ini adalah ketertutupan pikiran para kader atas situasi dinamis yang sesungguhnya menjadi masalah kekinian PDIP.

3. Meledaknya Pesawat Ruang Angkasa Challenger.

Padahal salah satu mekaniknya sudah faham kalau ada yang tidak beres dengan pesawat tersebut, sebelum diadakan peluncuran. Tetapi karena kepala mekanik sudah mengatakan bahwa pesawat dalam kondisi siap luncur, maka para anggota mekanik harus menjalankan tugasnya. Akhirnya, pesawat itu meledak diangkasa yang menewaskan seluruh awaknya. Namun para mekanik tetap membela kelompoknya dengan alasan bahwa suatu kecelakaan lumrah saja terjadi. Jadi tidak ada pihak yang salah. Namun tentunya, pengakuan mereka dianggap demikian oleh masyarakat sejauh media massa memberitakannya sesuai dengan alasan seluruh mekanik tersebut.

4. Babak akhir kasus Century oleh Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.

Hiruk-pikuk kasus Century memasuki babak akhir yang menentukan. Sejak Desember hingga puncaknya awal Maret nanti, berbagai isu utama maupun penggembira seputar skandal bailout Bank Century bergulir bak bola panas sekaligus menjadi magnitude perbincangan, mulai dari Senayan hingga jalanan.

Ibarat tim sepak bola yang menerapkan total football, para anggota Pansus Bank Century lincah bergerak, menyerang, melakukan penetrasi dan manuver di berbagai lini. Publik yang di luar gelanggang pun termangu, berharap, sesekali bersorak karena seolah para pemain hampir sampai di gawang dan menuai skor kemenangan.

Jika pada akhirnya mereka teriak “it’s just the political game”,maka tak berlebihan jika kita mengategorikan mereka hanya para pesolek yang sedang membangun citra politik semata-mata. Sebaliknya jika mereka konsisten membangun koalisi kebenaran dan membuka tuntas skandal Century hingga ke akarnya, mereka layak dapat bintang dan tak segan kita rekomendasikan sebagai figurfigur pemimpin bermartabat yang layak meneruskan alih generasi kepemimpinan nasional di masa mendatang.

Batasan Afiliatif

Ada dua faktor yang masih memungkinkan para pemain penyerang di Pansus Century berbalik badan dari kebenaran. Pertama, adalah gejala groupthink dalam tradisi para politisi partai di negeri ini. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi yang sering kali gagal mengembangkan alternatif- alternatif tindakan yang mereka ambil.

Para kader partai di pansus sangat mungkin kembali ke tradisi lama yakni berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan. Hal ini menyebabkan minimnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader lain terlebih jika harus berseberangan dengan elite utama di fraksi atau partai mereka.

Jika pun ada yang berbeda, maka akan dilabeli sebagai penyimpang atau tidak loyal pada garis kebijakan partai. Situasi ini masih harus kita curigai karena di banyak kasus yang telah terjadi sebelumnya, kerap diselesaikan dengan cara “kongkow para elite”. Konflik menjadi sarana menaikkan daya tawar yang menghantarkan para penyerang dan yang diserang berada di zona of possibble agreement (ZOPA).

Jika hal ini terjadi, jelas telah terjadi tirani partai atau tirani fraksi yang membahayakan nilai-nilai kebenaran dan rasionalitas substantif dari publik. Mekanisme penyelesaian adat lewat lobi,jamuan makan bersama, atau tradisi “silaturahmi” kerap menjadi pemutus akhir sebelum putusan formal dibacakan di paripurna. Tradisi “kongkow elite” inilah yang biasanya melahirkan kesegaraman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).

Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive,Affiliative and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak.Para pemain penyerang sangat mungkin menjadikan pansus hanya sebagai panggung pertunjukan, di mana mereka bisa berteriak kencang lantas perlahan menepi dan akhirnya sepi.

KESIMPULAN

Singkatnya tentang groupthink, terjadi manakala ada semacam konvergenitas pikiran, rasa, visi, dan nilai-nilai di dalam sebuah kelompok menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok, dan orang-orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai individu, tetapi sebagai representasi dari kelompoknya. Apa yang dipikirkan, dirasa, dan dilakukan adalah kesepakatan satu kelompok. Tidak sedikit keputusan-keputusan yang dibuat secara groupthink itu yang berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang lain di luarnya. Namun mengingat itu kepentingan kelompok, maka mau tidak mau semua anggota kelompok harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai suatu kesepakatan bersama.

diambil dari berbagai sumber...